A. Konsepsi Proses
Sosialisasi
Proses sosialisasi adalah proses belajar individu
untuk bertingkah laku sesuai dengan standar yang terdapat dalam kebudayaan
masyarakatnya. Jadi, proses sosialisasi adalah juga proses akomodasi, dimana
individu akan mengubah impuls-impuls sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan
mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan perkembangan
kebudayaan masyarakatnya.
Dalam proses
sosialisasi ini individu mengadopsi kebiasaan, sikap, dan ide-ide orang lain,
dan menyusunnya kembali sebagai suatu cara hidupnya atau standard hidupnya.
- Proses sosialisasi adalah proses
belajar, yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah
impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan
masyarakatnya.
- Dalam proses sosialisasi itu, individu
mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan
standard tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
- Semua sifat dan kecakapan yang
dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai
suatu kesatuan sistim dalam diri pribadinya.
Dalam proses sosialisasi, mencakup
paling kurang tiga aktivitas pokok sebagai
berikut:
1.
Aktivitas
Belajar. Belajar menurut Morgan C.T adalah sebagai suatu perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku, akibat pengalaman masa lalu. konsep belajar sebagaimana ‘belajar terdiri
dari melakukan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu dicamkan (artinya,
dimasukkan kedalam fungsi ingatan) oleh individu, yang ditampilkan kembali dalam
ingatan’. Belajar sebagai suatu proses ‘penemuan identitas diri’ bagi seorang
anak melalui tahapan sebagai berikut: Tahap Imitasi: Imitasi adalah
suatu cara atau proses belajar seorang anak dengan mengikuti atau mencontohi
orang lain. Menurut psikolog, G. Tarde bahwa unsur tunggal
dari segenap kehidupan sosial ialah hubungan antar dua orang, dan antar
hubungan itu selalu bersifat meniru atau mencontohi orang lain. Dan juga
imitasi ini terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai jenis kecakapan, dan
lain sebagainya. Proses imitasi tidak selalu membawa pengaruh positif bagi
orang yang mencontoh atau menirunya. Akan tetapi, dapat juga berakibat negatif, apabila orang
yang meniru hal-hal yang negatif dari orang lain.
2. Tahap Sugesti:
Sugesti
adalah suatu anjuran tertentu yang memberikan suatu redaksi langsung tanpa
pikiran panjang pada individu yang menerima sugesti tersebut. Faktor sugesti
berlangsung apabila seseosrang memberi
suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak yang lain., dan kebanyakan faktor sugesti terjadi apabila
orang yang mempunyai pandangan tersebut mempunyai kewajiban yang tinggi atau
sangat disenangi oleh orang lain. Sehingga kebanyakan apa yang diberikan oleh
orang tersebut akan diterima saja atau diturut oleh orang lain. Sebab dari pada
ini, pihak yang menerima kebanyakan mengalami kondisi berpikir yang labil dan
emosi tidak menentu yang kemudian menyebabkan tidak lagi berpikir secara
rasional.
Sugesti hampir mirip dengan imitasi. Akan tetapi tentu saja keduanya mempunyai
perbedaan-perbedaan tertentu ; di
mana imitasi merupakan proses belajar, di mana berbagai jenis kecakapan diubah,
diperbaiki dan disempurnakan dengan meniru orang lain. Sebaliknya, sugesti
melepaskan atau menggiatkan suatu reaksi yang sudah ada tetapi tersembunyi
sifatnya dalam individu, berdasarkan pengalamannya masa lalu. Misalnya,
orang-orang terpengaruh menggunakan sabun merek tertentu, konon dalam reklame
disebut bahwa orang yang menggunakan sabun tersebut adalah orang yang tercantik
di dunia. Jadi di sini, seakan-akan sebab kecantikan orang tersebut adalah
sabun yang dimaksud.
3. Tahap simpati:
Simpati adalah kecakapan untuk merasai diri seolah-olah dalam keadaan orang
lain dan ikut merasakan apa yang dilakukan, dialami, atau diterima, ataupun
diderita oleh orang lain. Oleh sebab itulah dalam simpati perasaan seseorang
memegang peranan penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan
untuk memahami pihak lain. Dasar dari kecakapan ini, karena mungkin
manusia mempunyai organ yang sama. Sehingga apabila ada orang yang jatuh dan
merasa sakit, kita juga seakan-akan merasainya apabila timbul rasa simpati. Tahap
Indentifikasi: Indentifikasi adalah merupakan hal yang lebih mendalam dari
pada simpati. Kalau simpati bermaksud agar orang merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain, sedangkan identifikasi tidak hanya merasakan tetapi juga
sedapat mungkin dirasakan sama dengan orang yang diidentifikasikan. Jadi,
identifikasi merupakan faktor-faktor imitasi, sugesti, dan simpati.
Identifikasi
dapat membentuk kepribadian, dan proses ini dapat terbentuk secara tidak
disadari. Seperti ungkapan dalam sosiologi, suatu prnyataan ringkas oleh Mayor
Polak bahwa ‘Identifikasi memegang peranan penting dalam perkembangan
kepribadia anak, karena dengan identifikasi dioper pula nilai-nilai kebudayaan
yang dan sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh orang yang menjadi
teladan’. Adapun identifikasi dapat terbentuk dengan sengaja meniru perilaku
atau kepribadian orang lain. Dan biasanya, orang yang menjadi anutan ini adalah
tokoh ideal. Seperti misalnya, seorang anak
mengidentifikasikan diri dengan orang tua dengan mengoper norma-norma orang tua
menjadi normanya sendiri.
·
Dalam
proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat
begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya.
Konsep adjustment activity seringkali disama artikan dengan adaptasi. Tindakan
atau tingkah laku manusia dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan ataupun tekanan dari
lingkungan kehidupannya. Misalnya, pada daerah dingin, manusia haruslah
berpakaian yang tebal dengan maksud mengatasi tuntutan iklim, artinya
menghindarkan diri dari kedinginan, dan lain sebagainya. Oleh karena manusia
hidup dalam suatu masyarakat (community), maka tingkah lakunya tidak
saja merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan fisik lingkunganya,
melainkan juga penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan sosial orang lain.
Pada waktu seseorang masih bayi, atau kanak-kanak, orang tuanya memberi
tuntutan terhadapnya agar dia menerima nilai-nilai dan memiliki pola-pola
tingkah laku yang baik. Di sekolah, misalnya, dia mendapatkan tuntutan dari
guru dan teman-teman sekelasnya untuk bertingkah laku sebagaimana yang diterima
oleh mereka. Dan setelah dia menanjak dewasa, seseorang tersebut tidak lepas
dari tuntutan orang lain (baik itu suami, istri, majikan, teman-teman sekerja,
tetangga, dan sebagainya) agar ia bertanggung jawab serta bertingkah laku
sebagaimana yang biasa diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, di mana ia
hidup dan berada.
Proses penyesuaian diri atau adjustment ini merupakan
reaksi terhadap tuntutan-tuntan terhadap dirinya seseorang. Tuntutan tersebut dapat
dikategorikan menjadi dua yakni tuntutan internal dan tuntutan eksternal.
Tuntutan internal adalah tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang
timbul dari dalam, baik berupa fisik, maupun sosial, misalnya : kebutuhan
makan, minum, seks, penghargaan sosial, persahabatan, kecintaan, dan
sebagainya. Sedangkan kebutuhan eksternal adalah tuntutan yang berasal
dari luar dari individu, baik bersifat fisik maupun sosial, misalnya : keadaan
iklim, lingkungan alam, individu lain, serta masyarakat. Tuntutan-tuntutan
tersebut tidak selalu serasi, kerap kali individu mengalami konflik-konflik
tuntutan.
Ada tiga pola konflik tuntutan,
yang dapat terlihat sebagai berikut: Pertama, konflik antara tuntutan
internal yang satu dengan tuntutan internal yang lain, misalnya : untuk
mendapatkan status, atau prestige sosial seseorang haruslah bersaing atau
bertentangan dengan teman-temannya sendiri, Kedua, konflik antara
tuntutan eksternal yang satu dengan tuntutan eksternal yang lainnya, misalnya:
seseorang anak laki-laki mendapat tuntutan dari ayahnya agar dia memiliki
sifat-sifat kelelaki-lelakian dan menjadi olah ragawan, sedangkan ibunya
menuntut agar ia memiliki sifat-sifat yang halus sebagai seniman, dan Ketiga,
konflik antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal, misalnya: konflik
antara dorongan seksual di satu pihak dengan tuntutan masyarakat agar dorongan
itu disalurkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat (
misalnya melalui ikatan perkawinan). Dari ketiga macam pola konflik tersebut
diatas, pola konflik yang ketigalah yang paling banyak kita alami, yang kadang
kala, jika tidak dapat terealisir, maka menimbulkan gangguan terhadap proses
adjustment tersebut.
Proses penyesuaian diri ini dapat
dipandang dari dua segi yaitu:
(1) kualitas atau efisiennya, dan
(2) proses berlangsungnya.
· Aktivitas Pengalaman Mental.
Pengalaman seseorang akan membentuk suatu sikap terentu, artinya menimbulkan
suatu reaksi terhadap suatu hal, atau suatu permasalahan. Semboyan ‘experience is the best
teacher’ mungkin tetap jika kita gunakan disini. Dari pengalaman
seseorang itu, sangat banyak mempengaruhi proses pembentukan kepribadian
dan perkembangan diri seorang anak. Apabila seorang amak kecil, sewaktu
dari kecil terus-menerus dibantu untuk pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya
dapat dilakukannya, maka pengalaman ini akan terus melekat pada dirinya,
sehingga setelah dewasapun kemungkinan besar sikap ketergantungan ini terus
melekat, dan perkembangan mentalnya pun ikut tercipta, menjadi mental tempelan
saja. Hal ini semakin menimbulkan kebingungan, ataupun putus asa, karena dia
sendiri tidak mampu untuk menunjukkan mentalitas, identitas diri yang
sebenarnya.
B. Proses Sosialisasi
Dalam Sketsa Sosiologis
Sebagaimana
telah dikatakan sebelumnya, bahwa sosialisasi mungkin merupakan suatu proses
yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan proses paling mendasar
dari terbentuknya masyarakat. Melalui proses inilah nilai-nilai,
norma-norma, tatanan kehidupan dan keterampilan-keterampilan lain diajarkan
kepada sang individu agar dapat hidup secara normal didalam masyarakatnya, yang
diawalinya dalam suatu keluarga.
Sosialisasi
dalam keluarga biasa disebut sebagai ‘primary socialization’, yaitu
sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang anak. Proses sosialisasi
dalam konsepsi parsons ini seringkali disebut ‘pasive theory of
socialization’ dimana sosialisasi dilihat sebagai proses satu arah.
Orang tua menanamkan nilai-nilai dan anak menerima serta belajar sampai
perilakunya berubah dan terbentuklah suatu khazanah nilai dan norma dalam
kepribadian individu yang disebut sebagai ‘basic personality structure’.
Individu seolah-olah memainkan peranan yang telah diberikan kepadanya (role
playing). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari teori ini kurang sesuai
dengan kenyataan. Suatu peranan di masyarakat ternyata bukan hanya merupakan ‘passive
acceptance’ dari seorang individu, melainkan merupakan suatu
pelibatan diri secara aktif disertai berbagai penyesuaian diri terhadap
masyarakat disekelilingnya, sehingga individu mampu mengambil peran tertentu
atas inisiatifnya sendiri (‘role taking’), bahkan pelibatan diri yang
mampu mengubah masyarakat sekelilingnya (‘role making’).
manusia
tidak hanya mampu melaksanakan peranannya, merespons orientasi nilai-nilai
serta struktur sosial yang ada, tetapi juga secara aktif menciptakan perannya
didalam masyarakat. Pandangan interaksionis tersebut merupakan suatu
kemajuan dalam ilmu sosiologi umumnya dalam melihat fenomena sosialisasi
sehingga dinamika didalam masyarakat dapat dijelskan. Namun lebih jauh
lagi, para sosiolog yang beraliran kritis ternyata telah berhasil menambahkan
suatu perspektif yang lebih jauh mengenai proses yang ‘basic’ ini.
Mereka menjelaskan bahwa peran itu sendiri sebenarnya merupakan suatu ‘structure
network of expectation’ yaitu harapan yang tidak diterima oleh
individu secara konsensus (kerelaan menyatakan suatu persetujuan) tetapi
ditentukan oleh struktur kekuasaan. Oleh karena itu, proses sosialisasi
bukan hanya merupakan proses yang penuh kedamaian dari orang tua kepada
anaknya, tetapi, proses yang amat mengandung konflik suatu kelompok kepentingan
pada kelompok lainnya. Pembagian kekuasaan dalam masyarakat amat
menentukan dan mewarnai proses ini. Peran tidak selalu ‘pas’ dengan si
pemegangnya; selalu ada jarak antara pemegang peran dan perannya (‘role
distence’). Misalnya, seorang murid merasa bahwa perannya sebagai murid
tidak seluruhnya sesuai dengan keinginannya, tetapi lebih banyak ditentukan
oleh pihak-pihak lain yang lebih berkuasa (guru, orang tua, dan bahkan
pemerintah). Jadi, apa yang disebut sebagai ‘Radical theory of
socialization’ ini terutama melihat bahwa sosialisasi terjadi didalam
masyarakat yang berstratifikasi.
Kelas
sosial dalam masyarakat menentukan pola sosialisasi dan prilaku serta sikap
individu-individu. Melalui proses ini kelompok yang berkuasa dengan
menggunakan berbagai saluran sosialisasi yang dikuasainya seperti lembaga
keluarga, sekolah, media komunikasi massa, lembaga-lembaga pemerintahan, politik,
agama, dan sebagainya.
Ada dua hal
yang dapat menarik perhatian atau cara pandang kita tentang hal tersebut,
terutama pandangan kelompok kritis:
Pertama, adalah bahwa proses sosialisasi bukan hanya suatu proses yang
mempertahankan kelangsungan hidup yang ‘fungsional’ bagi seluruh anggota
masyarakat (suatu pandangan yang merupaka koreksi terhadap Talcott
Parsons). Akan tetapi, yang Kedua, konsekuensi logis dari
pandangan ini ialah dalam prises sosialisasi sistim nilai yang dimiliki oleh
kelompok dominan secara ‘caercive’ selalu ditanamkan pada kelompok
lemah, dan kelompok dominan selalu berusaha dengan perangkat kontrol sosial
yang ada untuk menjaga agar nilai-nilai yang establish tersebut, tidaklah
digoyahkan oleh kekuatan lain (bahkan Berger dan Lukman dari kelompok
interaksionis pun menandaskan bahwa pada hakekatnya kehidupan sosial adalah
suatu kekuatan yang senantiasa mengontrol ‘... sosial is control’),
sehingga dengan demikian cenderung terbentuk semacam ‘basic personality
structure’ pada individu, mirip seperti apa yang dikatakan Parsons.
Hanya letak perbedaannya adalah bahwa Parsons menganggap sosialisasi diterima
secara konsensus dan fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat seluruhnya,
sedangkan kelompok kritis mengatakan bahwa sosialisasi terutama fungsional bagi
kelanjutan dominasi kelompok kelompok yang berkuasa.
Kalau
menyimak alur pemikiran atau pandangan tersebut di atas, maka sosialisasi dapat
disimpulkan sebagai proses untuk mempertahankan keteraturan sosial yang ada.
Namun, kesimpulan ini tidaklah cukup untuk menampung kenyataan sosial yang ada
terutama dalam kehidupannya manusia dalam masa kini, sebab selalu dan
senantiasa mengalami perubahan sosial yang cepat dan amat mendasar.
C. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Proses Sosiali-
isasi
Dengan
proses sosialisasi individu berkembang menjadi suatu pribadi sebagai mahluk
sosial. Baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial ini merupakan
kesatuan integral dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui proses sosialisasi,
sifat mana mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dalam suatu masyarakat.
Proses sosialisasi dimungkinkan bagi perkembangan manusia sebagai mahluk sosial
dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut
F.G. Robbins terdapat lima faktor yang menjadi dasar perkembangan
kepribadian yaitu:
1)
Sifat dasar adalah potensi-potensi yang diwarisi oleh seseorang
dari orang tuanya, ayah dan ibunya. Sifat dasar ini terbentuk pada saat
konsepsi, yaitu moment bertemunya sel-sel pria dan wanita pada saat
pembuahan. Sifat dasar ini masih merupakan potensi-potensi, selanjutnya
berkembang dan teraktualisasi karena pengaruh faktor-faktor lainnya.
2) Lingkungan
prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu. Sel telur yang telah
dibuahi (zygote) saat konsepsi itu berkembang sebagai embrio dan
feutus dalam lingkungan prenatal. Dalam periode itu individu mendapatkan
pengaruh-pengaruh secara tidak langsung dari si ibu, yang dapat dikategorikan
sebagai berikut : misalnya gangguan penyakit pada pertumbuhan mental bayi dalam
kandungan dan sebagainya, gangguan endoktrin keterbelakangan mental, cacat,
lemah pikiran....
3) Perbedaan
individual adalah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
sosialisasi. Sejak seseorang dilahirkan, tumbuh dan berkembang sebagai
individu yang unik, berbeda dari individu-individu yang lain. Dia bersifat
selektif terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Perbedaan ini meliputi
perbedaan dalam ciri fisik (bentuk badan, warna kulit, warna mata, rambut, dan
lain sebagainya), ciri-ciri fisiologis (berfungsi sebagai sistem endokrin), dan
ciri-ciri mental, emosional, ciri-ciri personal dan sosial.
4) Lingkungan
adalah kondisi-kondisi disekitar individu yang mempengaruhi proses
sosialisasinya. Lingkungan ini dapat dikategorikan menjadi: (1) lingkungan alam
yaitu keadaan tanah, iklim, flora dan fauna, disekitar individu, (2) kebuayaan,
yaitu cara hidup masyarakat tempat individu itu hidup; kebudayaan ini mempunyai
aspek material (rumah, perlengkapan hidup, hasil-hasil teknologi dan
sebagainya), dan aspek non seperti (nilai-nilai, pandangan hidup, adat istiadat
dan sebagainya), (3) manusia lain dan masyarakat disekitar individu; pengaruh
manusia lain dan masyarakat dapat memberi stimulasi pada proses sosialisasi.
5) Motivasi
adalah kekuatan-kekuatan (dorongan-dorongan) dari dalam diri individu yang
menggerakkan individu untuk berbuat. Motivasi sebagai dorongan adalah
keadaan ketidak-seimbangan dalam diri individu, karena pengaruh dari dalam atau
dari luar dirinya, yang mempengaruhi dan mengarahkan perbuatan individu dalam
rangka mencapai keseimbangan kembali atau adaptasi; seperti dorongan untuk
makan, minum, menghindarkan diri dari ancaman bahaya, dan lain sebagainya.
Sedangkan kebutuhan adalah dorongan yang telah ditentukan secara personal,
sosial dan kultural.
Oleh Louis Rats kebutuhan-kebutuhan manusia yang
terpenting adalah :
(1) kebutuhan untuk bersama orang lain,
(2) kebutuhan untuk berprestasi,
(3) kebutuhan akan afeksi,
(4) kebutuhan bebas dari rasa takut,
(5) kebutuhan bebas dari rasa bersalah,
(6) kebutuhan untuk turut serta mengambil keputusan
mengenai persoalan- persoalan yang menyangkut
dirinya,
(7) kebutuhan akan kepastian ekonomis, dan
(8) kebutuhan akan terintegrasikannya sikap,
keyakinan dan nilai-nilai.
Adapun kebutuhan lain hanya timbul apabila
kebutuhan biologis telah dapat dipuaskan. Penelitian menunjukkan bahwa
pada tingkat masyarakat yang masih rendah, maka kebutuhan biologis sangat
dominan, tetapi pada tingkat masyarakat yang tinggi, kebutuhan yang paling
dominan ialah kebutuhan memperoleh kebanggan. Pada masyarakat menengah,
kebutuhan pertama dan kedua (kebutuhan fisik dan keamanan) cenderung berkurang,
tetapi kebutuhan ketiga, keempat dan kelima (kebutuhan bermasyarakat,
kehormatan dan kebanggaan) cenderung bertambah
Sosialisme dan sosialisasi itu penting,
BalasPadamkarena manusia sebagai makhluk sosial
tidak bisa hidup sendiri - sendiri
ini karya yang baik dan disukai oleh SEO.
BalasPadamtetap semangat dan salam blogger